Tempat Ibadah Orang Hindu Kartun

Pemimpin Agama Hindu:

Dalam buku 'Tradisi Cinandi di Banyuwangi' karya Dr Poniman, SAg., M Fil.H. pemimpin adalah orang yang menjadi panutan banyak orang. Sedangkan, pemimpin agama adalah orang yang bertugas memimpin sekelompok umat beragama dalam menjalankan kegiatan beribadah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adapun, pemimpin agama Hindu adalah pemangku. Biasanya, pemimpin agama Hindu menjadi orang yang disucikan dengan berbagai sebutan, yakni rsi, pandita atau sulinggih, pinandita.

Para pemimpin agama Hindu memiliki kedudukan dalam memimpin atau melaksanakan upacara atau yajna. Para pemuka agama tersebut ditunjuk atau dipilih oleh kelompoknya dalam memimpin persembahyangan.

Umat Hindu melaksanakan persembahyangan memuja Hyang Widhi Wasa dan segala prabhawa-Nya dan Atma Sidha Dewata (roh suci leluhur) di pura. Nama pura sendiri diambil dari kata pur yang artinya benteng.

Selain itu, kata tersebut juga digunakan untuk istilah kahyangan dari kata Hyang yang berarti luhur, mulia, dan terhormat. Sehingga, pura memiliki arti tempat yang dimuliakan untuk mengadakan pemujaan.

Kitab suci agama Hindu adalah Weda atau Veda. Nama kitab tersebut juga terdiri atas samhita (himpunan), yakni (1) regweda berisi pujian terhadap dewa, (2) samaweda berisi syair-syair, (3) yajurweda berisi doa pengantar sesaji, dan (4) atharwaweda berisi mantra untuk sihir dan ilmu gaib.

Nah Detikers, sudah tahu kan pemimpin agama Hindu, tempat ibadah, dan kitab sucinya?

Mengenal Pura: Tempat Ibadah Umat Hindu

Made Lanang Darma Atmaja

Universitas Pendidikan Ganesha

E-Mail: [email protected]

Pura merupakan suatu tempat ibadah yang sangat penting bagi umat Hindu, khususnya di Indonesia. Lebih dari sekadar tempat berdoa, pura memiliki fungsi dan makna yang mendalam dalam kehidupan spiritual dan budaya umat Hindu. Artikel ini mengulas tentang fungsi, tujuan, struktur, arsitektur, keunikan, dan jenis-jenis pura dalam konteks kepercayaan dan kehidupan masyarakat Hindu.

Pura merupakan ciri khas dari kepercayaan Hindu di Indonesia. Sebagai tempat utama untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dan dewa-dewi lainnya, pura tidak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga pusat kegiatan sosial dan budaya bagi masyarakat Hindu. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang fungsi, tujuan, struktur, arsitektur, keunikan, dan jenis-jenis pura, yang merupakan bagian integral dari kehidupan spiritual dan budaya umat Hindu di Indonesia.

Mengenal Pura: Tempat Ibadah Umat Hindu

Pura merupakan tempat ibadah yang sangat penting bagi umat Hindu, khususnya di Indonesia.   lebih dari sekedar tempat berdoa, pura memiliki fungsi dan makna yang mendalam dalam kehidupan spiritual dan budaya umat Hindu.  Mari kita mengenal lebih jauh tentang pura.

Lihat Ruang Kelas Selengkapnya

Tempat ibadah Buddhisme atau biara Buddhis merupakan tempat beribadah bagi umat Buddha atau pengikut agama Buddha. Mereka termasuk bangunan yang disebut wihara, cetiya, candi, stupa, wat, dan pagoda di berbagai daerah dan bahasa. Dalam aliran Buddhisme Tanah Murni, tempat ibadah melambangkan tanah suci atau lingkungan suci seorang Buddha. Tempat ibadah Buddhis tradisional dirancang untuk menginspirasi kedamaian lahir dan batin.[1]

Arsitektur dan strukturnya bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Biasanya, sebuah tempat ibadah Buddhis tidak hanya terdiri dari bangunannya saja, tetapi juga lingkungan di sekitarnya. Tempat ibadah Buddhis dirancang untuk melambangkan lima unsur: api, udara, air, tanah dan kekosongan (ruang).[2]

Desain tempat ibadah Buddhis di India dipengaruhi oleh gagasan tempat ibadah berbentuk candi sebagai representasi alam semesta. Untuk suatu kompleks candi Buddhis, satu candi tinggi sering kali terletak di pusat dan dikelilingi oleh candi dan tembok yang lebih kecil. Pusat ini dikelilingi oleh lautan, gunung-gunung kecil dan tembok besar.[3]

Chaitya, aula Chaitya, atau Chaitya-griha merujuk kepada tempat suci, tempat ibadah, atau aula doa dalam agama India. Istilah ini paling umum dalam agama Buddha, yang merujuk pada ruang dengan stupa dan apse bundar di ujung yang berseberangan dengan pintu masuk, dan atap tinggi dengan profil bundar. Dalam pengertian secara ketat, chaitya adalah stupa itu sendiri, dan bangunan-bangunan India adalah aula chaitya, tetapi perbedaan ini sering tidak diperhatikan. Banyak Chaitya awal yang dipahat di batu, seperti di gua Karla atau Ajanta.

Beberapa candi berdiri bebas paling awal mungkin berbentuk lingkaran. Ashoka juga membangun Wihara Mahabodhi di Bodh Gaya sekitar tahun 250 SM, sebuah bangunan melingkar, untuk melindungi pohon Bodhi yang menjadi tempat Sang Buddha mencapai Nirwana. Wihara Bairat juga merupakan bangunan bundar, yang dapat dilihat melalui sisa-sisa arkeologi. Representasi struktur candi awal ini ditemukan pada relief tahun 100 SM yang dipahat pada pagar stupa di Bhārhut, serta di Sanchi.[4] Dari masa itu masih tersisa singgasana berlian, lempengan batu pasir yang hampir utuh yang dihiasi dengan relief, yang didirikan Ashoka di kaki pohon Bodhi.[5][6] Candi-candi berbentuk lingkaran ini juga ditemukan di gua-gua batu yang dibangun kemudian, seperti Gua Tulja atau Guntupalli.[7]

dan singgasana berlian di

, dibangun sekitar tahun 250 SM. Dekorasi khas Bharhut.

Wihara pohon Bodhi digambarkan di Sanchi, Stupa 1, sisi gerbang selatan.

Relief candi bertingkat, abad ke-2 M, Stupa Ghantasala.

Sisa-sisa batu bundar yang dipahat di Chaitya dengan kolom-kolom, Gua Tulja.

Buddhisme merupakan agama tertua kedua di Indonesia setelah agama Hindu yang datang dari India sekitar abad kedua.[10] Sejarah Buddhisme di Indonesia berkaitan erat dengan sejarah agama Hindu, karena sejumlah kerajaan yang dipengaruhi oleh budaya India didirikan sekitar periode yang sama. Situs arkeologi Buddhis tertua di Indonesia bisa dibilang adalah kompleks stupa Batujaya di Karawang, Jawa Barat. Peninggalan tertua di Batujaya diperkirakan berasal dari abad ke-2, sedangkan yang terbaru berasal dari abad ke-12. Selanjutnya, sejumlah besar situs Buddhis ditemukan di provinsi Jambi, Palembang, dan Riau di Sumatera, serta di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kepulauan Indonesia selama berabad-abad telah menyaksikan kebangkitan dan kejatuhan kerajaan-kerajaan Buddhis yang kuat, seperti Dinasti Syailendra, Mataram, dan Sriwijaya.

Menurut beberapa sumber Tionghoa, seorang biksu Buddhisme Tionghoa, I-tsing, dalam perjalanan ziarahnya ke India, menyaksikan kerajaan maritim Sriwijaya yang kuat yang berpusat di Sumatera pada abad ke-7. Sejumlah peninggalan sejarah Buddhis dapat ditemukan di Indonesia, termasuk monumen mandala Borobudur abad ke-8 dan candi Sewu di Jawa Tengah, Batujaya di Jawa Barat, Muaro Jambi, Muara Takus dan Candi Bahal di Sumatra, dan banyak patung atau prasasti dari sejarah awal kerajaan Hindu-Buddha Indonesia.

Pada masa pemerintahan Kerajaan Kediri, Singhasari, dan Majapahit, Buddhisme yang dikenal sebagai Dharma ri Kasogatan diakui sebagai salah satu agama resmi kerajaan, bersama dengan agama Hindu. Meskipun beberapa raja mungkin lebih menyukai agama Hindu dibanding yang lain, namun kerukunan, toleransi dan bahkan sinkretisme tetap dipromosikan sebagaimana yang terwujud dalam semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika, yang diambil dari Kakawin Sutasoma, yang ditulis oleh Mpu Tantular untuk mempromosikan toleransi antara umat Hindu (Siva) dan umat Buddha.[11] Era klasik Jawa kuno juga telah menghasilkan beberapa contoh seni Buddhis yang indah, seperti patung Prajnaparamita dan patung Buddha Vairocana serta Bodhisatwa Padmapani dan Vajrapani di Candi Mendut.

Dalam perspektif Buddhisme Indonesia kontemporer, candi mengacu pada tempat suci, baik kuno maupun baru. Beberapa wihara kontemporer di Indonesia misalnya, memiliki replika atau rekonstruksi ukuran sebenarnya dari candi Buddhis terkenal, seperti replika Candi Pawon[12] dan Candi Perwara (kecil) Plaosan. Dalam Buddhisme, peran candi sebagai tempat suci terkadang dapat dipertukarkan dengan stupa, bangunan berkubah untuk menyimpan relik Buddha atau abu biksu-biksuni, pelindung, atau dermawan Buddhis yang dikremasi.

Tempat ibadah Buddhisme Jepang biasanya memiliki suatu Balairung Utama.

Ciri khasnya adalah adanya chinjusha, yaitu tempat ibadah Shinto yang ditujukan untuk memuja kami (dewa-dewi Shinto). Buddhisme Jepang hidup berdampingan dengan Shinto, tetapi pada abad ke-8 Buddhisme menjadi agama negara dan berbagai tempat ibadah Buddhis dibangun. Konsentrasi tinggi tempat ibadah Buddhis Jepang yang penting dapat ditemukan di jantung kebudayaan Jepang di wilayah Kansai, terutama di Nara dan Kyoto.

Tempat ibadah Buddhis di Thailand dikenal sebagai wat, dari bahasa Pāḷi vāṭa, yang berarti "kandang". Arsitektur Wat menganut prinsip yang konsisten. Sebuah wat, dengan beberapa pengecualian, terdiri dari dua bagian: Phutthawat dan Sangkhawat . Phutthawat (bahasa Thai: พุทธาวาส) merupakan area yang didedikasikan untuk Buddha, sedangkan Sangkhawat merupakan wilayah yang diperuntukkan bagi komunitas biara Buddhis, yaitu Sangha.

Tempt ibadah Buddhis di Sri Lanka dikenal sebagai 'Pansala' atau 'Viharaya' dalam bahasa Sinhala. Ciri-ciri umum dari tempat ibadah Buddhisme Sri Lanka meliputi Stupa, Pohon Bo, dan berbagai bangunan tempat ibadah kecil. Pohon Bodhi tertua yang masih hidup yang ditanam manusia di dunia Jaya Sri Maha Bodhi dan beberapa Stupa terbesar di dunia, termasuk Ruwanwelisaya, Jetavanaramaya, dan Vihāra Abhayagiri yang terletak di berbagai tempat ibadah Sri Lanka.

Tempat ibadah Hindu adalah pura. Di Indonesia, pura ini banyak dijumpai di Bali, pulau yang mayoritas warganya menganut agama Hindu.

Pura ini, selain tempat beribadah merupakan pusat kegiatan umat Hindu seperti berkumpul untuk bermasyarakat, bersosialisasi, mengembangkan kebudayaan dan sebagainya, demikian dikutip dari situs Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut kitab suci Hindu, Weda, telah menguraikan apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci untuk mendirikan tempat ibadah Hindu. Tempat-tempat itu seperti gunung, danau, pertemuan sungai, pantai, laut dan sebagainya yang dinilai memiliki nilai-nilai kesucian.

Oleh karena itu tempat ibadah Hindu umumnya didirikan di tempat-tempat tersebut dengan harapan, saat beribadah umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu), demikian dilansir dari situsPHDI.

Berdasarkan laporan riset Komodifikasi Pura Keluarga di Bali yang dimuat Jurnal Studi Kultural, pura berasal dari bahasa Sansekerta, Pur yang berarti kota atau benteng.

Menurut buku Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V yang ditulus oleh I Ketut Darta dan Duwijo terbitan Balitbang Kemdikbud, pura berarti tempat yang dikelilingi tembok dan dikhususkan sebagai tempat suci.

Pura Berdasarkan Fungsi

Berdasarkan fungsinya, tempat ibadah Hindu ini dibedakan menjadi 2:1. Pura JagatPura sebagai tempat umat Hindu memuja Sang Hyang Widhi beserta perwujudannya.

2. Pura KawitanTempat ibadah Hindu untuk memuja roh suci leluhur.

Pura Berdasarkan Orang yang Memuja

1. Pura sebagai tempat umat Hindu yang masih satu keluarga atau ikatan kekerabatan melakukan pemujaan. Misalnya: Sanggah dan Kawitan

2. Pura sebagai tempat umat Hindu yang masih satu daerah atau wilayah melakukan pemujaan. Pura ini terdiri:

a. Pura Desa atau Pura Bale Agung merupakan tempat memuja Dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta.b. Pura Puseh merupakan tempat memuja Dewa Wisnu sebagai pemelihara alam semestac. Pura Dalem, merupakan tempat memuja Dewa Siwa sebagai pelebur alam semesta.

3. Pura Segara, merupakan tempat ibadah Hindu yang berprofesi sebagai nelayan yang melakukan pemujaan.

4. Pura sebagai tempat ibadah seluruh umat Hindu melakukan pemujaan. Pura tersebut bersifat umum. Contohnya: pura Besakih, pura Goa Lawah, pura Lempuyang Luhur, pura Luhur Uluwatu dan pura Watukaru.

Nah itu seluk-beluk tempat ibadah Hindu, semoga bermanfaat ya detikers...

Hindu menjadi salah satu agama resmi di Indonesia. Persembahyangan biasa dilakukan di pura dan diketuai oleh pemimpin agama Hindu. Namun, siapa pemimpin agama Hindu?

Dikutip dari buku 'Pendidikan Agama Hindu dalam Lontar Tutur Kumara Tattwa' karya I Putu Febriyasa Suryanan, umat Hindu menyembah Ida Sang Hyang Widhi. Adapun, tujuan pendidikan agama ini untuk membentuk manusia sujana, susila, dan subrata yang juga memiliki kepekaan sosial dalam arti yang luas.